Purchased: 31 July 2007 -Price : Rp. 30.800- Author : Elizabeth Lutters -Pages : xiv+244
Second Edition : Mei 2007
Tuesday, July 31, 2007
Kunci Sukses Menulis Skenario
Label: Buku Film
Monday, July 30, 2007
Chinese Democracy:A Study of The Kongsie of West Borneo ( 1776-1884)
Copy and Printed : 17 March 2005
Price : Rp. 75.000-
Author : Yuan Bing Ling
***
Pertanyaan penting yang mungkin akan a-sejarah adalah bagiamana bila Lan Fang Kongsi ini tak mampu di bumi hanguskan oleh Belanda tahun 1884 ?. Bagaimana jadinya Kalimantan dan kota -kota kecilnya ? Sebuah kemakmuran yang akan mirip Singapore sekarang ? Atau akan menjadi sebuah negara superpower China seberang ?
***
15 tahun sebelum negara Amerika terbentuk, sebuah bibit negara dengan cikal bakal sebuah bentuk republik mulai berdiri , nun jauh disalah satu pulau buah pulau terbesar di dunia pulau Kim San , atau gunung emas-tanah Borneo -Kalimanatan sekarang. Ribuan penambang datang dan menetap dari tanah Tiongkok, beranak pinak dan akhirnya menjadi sebuah koloni mandiri. 15 tahun sebelum Amerika ada, jauh sebelum Amerika dideklarasikan menjadi sebuah negara berdaulat-sebuah republik telah tumbuh , oleh sebuah kesadaran sebuah masyarakat Tionghoa -yang mayoritas ber sub etnik Hakka ( Khek, Kejia ) , para penambang emas-gold diggers !
***
Amerika belum lahir, 1750 beberapa tetua penambang emas berkumpul merumuskan cikal bakal sebuah kongsi besar, sebuah Thai Kong Sie-yang belum punya nama-sekedar sebuah perkumpulan orang-orang dengan kepentingan sama -lalu tumbuh bertahun kemudian menjadi Ho Shun Kong Sie tahun 1776-lalu menguat menjadi Lan Fang Kong Sie setahun kemudian.
***
Mengagumkan dan sekaligus ironi bahwa ide egaliteran -yang baru menjadi bibit kecil mungil pada revolusi Prancis May 1776- tumbuh menguat diantara kelompok pendatang ini, yang hidup hanya dari tambang emas-. Sementara ide egaliter inilah yang menjadi ladang subur tumbuhnya sebuah ide besar yang sederhana tentang organisani yang teratur , demokratis dan tertata rapih.
***
Label: Sejarah Sosial
Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera
Purchased : 30 July 2007 -Price : Rp. 50.000- Pemulis Gusti Asnan -Pages VI+405 -Penerbit Ombak-First Edition-July 2007
Label: Sejarah Sosial
Friday, July 27, 2007
Social Intelligence
Purchased : 20 July 2007 -Price : Rp. 77.500- Author: Daniel Goleman -Pages : VII+546
Publishing : Gramedia -First Edition :June 2007
Label: Psikologi
Monday, July 16, 2007
Wednesday, July 11, 2007
The Social World of Batavia
Purchased : 13 June 2005 -Price : Rp. 388.000- Author : Jean Gelman Taylor -Edition 1st : 1983-Binding: Paperback -Brand: University of Wisconsin PressDewey-Decimal Number: 301 EAN: 9780299094744 -ISBN: 029909474X -Label: University of Wisconsin Press -Manufacturer: University of Wisconsin Press -Number Of Pages: 272
***
Inilah buku yang terbaik memberikan gambaran lengkap mengenai dunia sosial jaman VOC di Batavaia abab ke 18. Semua buku yang terbaik memberikan banyak data-data yang paling kucari-cari selama ini. Buku ini aku order indent ke Kinokuniya Senayan. Tahun 2004 september waktu ke Kinokuniya Singapore, aku cari juga tapi tidak ada stock.
***
Buku Jean Gelman Taylor ini menjadi banyak acuan di buku-buku mengenai kehidupan Batavia yang di tulis oleh penulis lokal. Sebuah buku yang sangat comprehensive mengenai tata budaya, kehidupan sosial, pola pernikahan , perselingkuhan , kepentingan-kepentingan ekonomi jaman itu.
***
Yang paling menarik mungkin bagiku adalah paparan mengenai jaringan kerabat di dalam pemerintahan VOC jaman itu, bagaimana hampir semua orang-orang berkuasa adalah sesama keluarga, turun-temurun, dengan social link yang itu-itu aja. Hampir sulit bagi orang di lur kerabat para pembesar untuk masuk dan minimal mendapatkan posisi penting bial tak ada koneksi keluarga dan membangun karier from the scratch. Nepotisme begitu kental dan telah menjadi darah daging di VOC jaman itu. Yang mungkin akan mirip-mirip dengan jaman orde baru kali.
***
Inilah buku yang terbaik memberikan gambaran lengkap mengenai dunia sosial jaman VOC di Batavaia abab ke 18. Semua buku yang terbaik memberikan banyak data-data yang paling kucari-cari selama ini. Buku ini aku order indent ke Kinokuniya Senayan. Tahun 2004 september waktu ke Kinokuniya Singapore, aku cari juga tapi tidak ada stock.
***
Buku Jean Gelman Taylor ini menjadi banyak acuan di buku-buku mengenai kehidupan Batavia yang di tulis oleh penulis lokal. Sebuah buku yang sangat comprehensive mengenai tata budaya, kehidupan sosial, pola pernikahan , perselingkuhan , kepentingan-kepentingan ekonomi jaman itu.
***
Yang paling menarik mungkin bagiku adalah paparan mengenai jaringan kerabat di dalam pemerintahan VOC jaman itu, bagaimana hampir semua orang-orang berkuasa adalah sesama keluarga, turun-temurun, dengan social link yang itu-itu aja. Hampir sulit bagi orang di lur kerabat para pembesar untuk masuk dan minimal mendapatkan posisi penting bial tak ada koneksi keluarga dan membangun karier from the scratch. Nepotisme begitu kental dan telah menjadi darah daging di VOC jaman itu. Yang mungkin akan mirip-mirip dengan jaman orde baru kali.
***
Label: Sejarah Sosial
Thursday, July 5, 2007
Anak Semua Bangsa
Pramoedya Ananta Toer -Pages : x1+539 -Edition 1st : April 2006 -13 X 20 cm
***
Tak perlu lagi rasanya membahas dan mereview buku kwaternium PAT ini, karena sudah demikian famousnya sehingga membahasnya lagi seperti kita membahas karya-karya Shakespeare. Sudah segudang review dan telaah bertebaran di media massa.
***
Tak perlu lagi rasanya membahas dan mereview buku kwaternium PAT ini, karena sudah demikian famousnya sehingga membahasnya lagi seperti kita membahas karya-karya Shakespeare. Sudah segudang review dan telaah bertebaran di media massa.
***
Buku Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia aku baca tahun 1985 kelas 1 SMA. Beny yang kirim fotocopian dari Jakarta , lalu aku jilid dengan hard cover setelah datang ke Jakarta . Waktu datang ke Jakarta tahun 1987 membawa fotokopian buku Pram ini membuatku deg-deg-an juga , karena banyak nya aktifis yang ditangkap hanya karena memiliki , membaca buku-buku ini. Apalagi mengedarkan , akan masuk penjara seperti Naipospos. Sekarang buku ini tersimpan rapi di lemari bukuku sebagai bagan dari pricious collection, walaupun hanya fotokopi. Foto kopi yang kupunya dari Beny masih dengan cover 1st edition yang tak gambar hanya tulisan saja, masih terbitan Hasta Mitra. Dengan strip warna merah melintang di tengah sampul buku. Sederhana saja.
***Masa-masa itu sangat sulit mendapatkan buku Pramoedya. Jangankan yang asli, fotokopian pun sangat sulit kalu tak punya link yang khusus. Jadi itulah perkenalan pertamaku terhadap karya-karya Pramoedya yang semual hanya ku kenela leawt judul saja di mata pelajaran sastra di SMA kelas Budaya.
***
Edisi fotokopi ini. Buku edisi Lentera Dipantara ini aku beli sekedar hanya ingin koleksi saja . Agar lengkap cetakan asli kwaternium ini. Padahal edisi asli dengan sampul tulisan merah putih itu pernah juga aku lihat di Ps. Senen ketika masih kuliah. Karena keterbatasan dana waktu , maklum kuliah, aku gak beli ,lagi pula waktu itu sudah baca dan sudah punyang copian. Waktu itu di jual di emperan dan di tawarankan dengan harga sangat tinggi sekitar Rp. 85.000- 125.000-, padahal novel-novel biasa dengan tebal 400-500 hal saja masih di jual Gramedia dengan harga Rp. 15.000-. Bayangkan hampir 4-5 x lipat harga yang beredar di black market Senen. Incredible. Beberapa buku seperti Perburuan , Mereka Yang di Lumpuhkan aku beli dengan harga mahal dari ukuran biasa, pada masa kuliah. Kadang harus ngorbanin uang makan.
***
Sekarang ketika buku ini dengan gampang terpampang di mana-mana, kadang ada perasaan malas juga untuk koleksi. Berbeda banget waktu jaman grilya dulu, nyebutin dan dengar buku Pram saja kayak mendengar sebuah berita sangat Top Secret. Luar biasa. tapi jaman sebelum Reformasi adalah jaman yang sangat penuh dengan romantika dalam berburu karya-karya Pramoedya.
**Sekarang bagiku membaca dan membicarakan buku-buku PAT seperti kehilangan semangat . Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak lagi memberikan sebuah petualangan. Mungkin karena mendapatkannnya sangat sulit waktu itu, jadi sebuah ekslusivisme juga. Kini PAT sudah jadi ngepop, semua orang yang mau disebut " In" harus serta-merta bicara atau paling tidak baca dan ngobrolin buku-buku PAT. Mungkin bagi para pembaca sekarang , atau mereka -mereka yang baru pertama mengenal Pram, bahwa mereka sangat beruntung bisa membeli buku Pram dengan bebas di mana saja. Maka mereka harus lebih appreciated karya sastra Indonesia lebih. Dan menasriknya membaca Pram kini seperti sebuha euforia. Tapi secara pribadi aku berpendapat, euforia ini sangat membanggakan sekaligus menunjukkan minat yang tumbuh menuju harapan baru atas apresiasi karya sastra Indonesia. Semoga.
***Walupun bagiku pribadi , PAT tiba-tiba sudah kehilangan greget. Tak ada masa-masa untuk menunggu sebuah revolusi. PAT sudah jadi selebrity, sudah menjadi profan. Tapi bagaimanapun kekagumanku pada soso Pramoedya tak gampang luntur ! He is the icon of Indonesia literature ! Mau nggak mau , terima atau tidak. That he is ! Sulit mencari sosok baru setangguh PAT , sosok pengganti PAT sampai saat ini belum juga muncul-mucul . Aku yang menjadi pemerhati amatir hanya menunggu saja. Semoga terlahir PAT baru di bumi Indonesia! Apa perlu ada museum Pramoedya Ananta Toer ?
***
All About Pramoedya Anan Toerhttp://www.radix.net/~bardsley/surat.html
http://www.radix.net/~bardsley/prampage.html
***
* Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
* Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
* Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
* Keluarga Gerilya (1950)
* Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
* Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
* Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
* Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
* Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, akarta, 1953
* Gulat di Jakarta (1953)
* Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Korupsi (1954)
* Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Cerita Dari Jakarta (1957)
* Cerita Calon Arang (1957)
* Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
* Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga
Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
* Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
* Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
* Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
*Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
* Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
*Arus Balik (1995)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (2000)
* Larasati (2000)
* Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
* Menggelinding 1 & 2
***
Label: Novel
Sekali Peristiwa Di Banten Selatan
Purchased : 05 July 2007
Price : Rp. 24.200-
Author : Pramoedya Ananta Toer
Pages : 126
13 X 20 cm
ISBN : 979-97312-9-5
Label: Novel
Tuesday, July 3, 2007
Johannes Rach 1720-1783
Purchased : 29 September 2004 -Price : Rp. 179,000- Author : Editor Hernandono & Professor Dr. J.P. Sigmond -Pages : iv+110
***
About Johannes Rach
Johannes Rach was born in 1720 in Copenhagen, Denmark as the son of an innkeeper. After training with the Danish court painter Wickman, Rach worked as a painter/draughtsman in Russia, Sweden and at the Danish Court. Apart from topographical drawings he made perspectives and still life paintings. In the early 1750's Rach moved to the Netherlands. He worked as painter in Haarlem. In April 1756 he married Maria Wilhelmina Valenzijn. The following year his daughter Christina Maria was born. Probably because his career in Holland was not satisfactory, Rach left for Asia in 1762 to serve as gunner with the Dutch East India Company (VOC). His wife and daughter stayed behind in Amsterdam. During his strip he made some topographical drawings, among others at the Cape of Good Hope.
***
In Batavia now Jakarta Rach made a career in the military hierarchy. At the same time he made progress as an artist of topographical views. The local elite ordered drawing of their country houses outside Batavia. Other patrons ordered street scenes and pastoral views. To cope with these commissions Rach recruited assistants who worked in his style. These, most often unknown, assistants are probably responsible for the many drawings made in Java. Rach and his studio perpetuated the city of Batavia as it looked in the second half of the 18th century. Besides that his drawings depict the surroundings of Batavia, Buitenczorg (Bogor), the north Javanese coastal cities, some cities on Sri lanka and other VOC settlements elsewhere in Asia.
***
Although Rach worked as a painter in his native Denmark and in Holland he seems to have made only wash drawings in Batavia. The drawings were made on good quality paper imported from Holland with a brush, Chinese ink and water. Unlike most of the artists working for him, Rach put his drawings directly on paper without preliminary sketches but using auxiliary lawns to construct a perspective. He had a particular gift for rendering architecture in the harsh tropical light of early mornings in Batavia. The figures and scenes with which he furnished his drawings seem to have been added in the last stage, sometimes evidently to reinforce the composition.
***
Johannes Rach died on August 4, 1783 in Batavia, in his house at the Roea Malakka, still called Roa Malacca today. There he kept a household in conformity with his position in society including a large staff of domestic slaves, carriages and horses. When he died, he left a considerable inheritance to his wife and daughter in Amsterdam. Rach was buried at the graveyard of the Dutch Church at present Taman Fatahillah. Though a member of the Reformed Church, Johannes Rach asked for the Lutheran minister and fellow draughtsman Jan Brandes at his death bed. In Rach’s time, Lutheran and reformed churches were two different Protestant religions. Originally from Denmark, where Lutheran was the dominant religion, Rach would have been raised a Lutheran. When Rach arrived in Batavia in 1762, the reformed church was still the official and leading religion. The Lutheran church had only recently been allowed (the first Lutheran arrived in 1746). As career opportunities for members of the reformed church were better, newcomers used to join the Dutch reformed church, even when they were from another religion. Rach would have done so, indicating he considered career more important than religion, at least in life.
***
It is one of the few aspects we know of Rach himself. An other personal quality, which can be deduced from the coercion, is his commercial skill. Rach used his notable position in society to sell large quantities of his drawings. Seen from the many copies of the same views, he had organised some sort of standard production. The standard views could be adapted, with decorations or colors, according to the wishes of the person who ordered the. Another thing we can derive from thus drawings, is a certain sense oh humor. His drawings often contain caricature situations, which must have been considered funny at that time, such as a urinating soldier or a vomiting sailor. Little more is known about Rach’s personal life, let alone about his personality. Rach was not the only draughtsman working in Asia in this period. Several other artists, often in the service of the VOC, are known to have depicted the exotic world the Western newcomers found in Asia. Several fellow draughtsman, such as Robert Jacob Gordon (1743-1795), Frederik Reimer (1796) and the aforementioned Jan Brandes (1743-1808), Rach personally knew or could have known.
***
The project "Johannes Rach 1720-1783"A cooperation on mutual heritage
The National Library of Indonesia in Jakarta and the Rijksmuseum in Amsterdam have been in consultation since 1995 over their common heritage: the drawings of Johannes Rach (1720-1783). The National Library in Jakarta owns the largest and most important collection: 202 drawings. The Rijksmuseum owns 40 drawings. The two parties studied the possibility of temporarily reuniting Erasmushuis in Jakarta was prepared to support the united initiatives of the National Library of Indonesia and the Rijksmuseum. It was expected that an exhibition together with a publication would attract considerable attention not only in Indonesia and the Netherlands but also in Japan, Singapore, South Africa and Great Britain.
***
About Johannes Rach
Johannes Rach was born in 1720 in Copenhagen, Denmark as the son of an innkeeper. After training with the Danish court painter Wickman, Rach worked as a painter/draughtsman in Russia, Sweden and at the Danish Court. Apart from topographical drawings he made perspectives and still life paintings. In the early 1750's Rach moved to the Netherlands. He worked as painter in Haarlem. In April 1756 he married Maria Wilhelmina Valenzijn. The following year his daughter Christina Maria was born. Probably because his career in Holland was not satisfactory, Rach left for Asia in 1762 to serve as gunner with the Dutch East India Company (VOC). His wife and daughter stayed behind in Amsterdam. During his strip he made some topographical drawings, among others at the Cape of Good Hope.
***
In Batavia now Jakarta Rach made a career in the military hierarchy. At the same time he made progress as an artist of topographical views. The local elite ordered drawing of their country houses outside Batavia. Other patrons ordered street scenes and pastoral views. To cope with these commissions Rach recruited assistants who worked in his style. These, most often unknown, assistants are probably responsible for the many drawings made in Java. Rach and his studio perpetuated the city of Batavia as it looked in the second half of the 18th century. Besides that his drawings depict the surroundings of Batavia, Buitenczorg (Bogor), the north Javanese coastal cities, some cities on Sri lanka and other VOC settlements elsewhere in Asia.
***
Although Rach worked as a painter in his native Denmark and in Holland he seems to have made only wash drawings in Batavia. The drawings were made on good quality paper imported from Holland with a brush, Chinese ink and water. Unlike most of the artists working for him, Rach put his drawings directly on paper without preliminary sketches but using auxiliary lawns to construct a perspective. He had a particular gift for rendering architecture in the harsh tropical light of early mornings in Batavia. The figures and scenes with which he furnished his drawings seem to have been added in the last stage, sometimes evidently to reinforce the composition.
***
Johannes Rach died on August 4, 1783 in Batavia, in his house at the Roea Malakka, still called Roa Malacca today. There he kept a household in conformity with his position in society including a large staff of domestic slaves, carriages and horses. When he died, he left a considerable inheritance to his wife and daughter in Amsterdam. Rach was buried at the graveyard of the Dutch Church at present Taman Fatahillah. Though a member of the Reformed Church, Johannes Rach asked for the Lutheran minister and fellow draughtsman Jan Brandes at his death bed. In Rach’s time, Lutheran and reformed churches were two different Protestant religions. Originally from Denmark, where Lutheran was the dominant religion, Rach would have been raised a Lutheran. When Rach arrived in Batavia in 1762, the reformed church was still the official and leading religion. The Lutheran church had only recently been allowed (the first Lutheran arrived in 1746). As career opportunities for members of the reformed church were better, newcomers used to join the Dutch reformed church, even when they were from another religion. Rach would have done so, indicating he considered career more important than religion, at least in life.
***
It is one of the few aspects we know of Rach himself. An other personal quality, which can be deduced from the coercion, is his commercial skill. Rach used his notable position in society to sell large quantities of his drawings. Seen from the many copies of the same views, he had organised some sort of standard production. The standard views could be adapted, with decorations or colors, according to the wishes of the person who ordered the. Another thing we can derive from thus drawings, is a certain sense oh humor. His drawings often contain caricature situations, which must have been considered funny at that time, such as a urinating soldier or a vomiting sailor. Little more is known about Rach’s personal life, let alone about his personality. Rach was not the only draughtsman working in Asia in this period. Several other artists, often in the service of the VOC, are known to have depicted the exotic world the Western newcomers found in Asia. Several fellow draughtsman, such as Robert Jacob Gordon (1743-1795), Frederik Reimer (1796) and the aforementioned Jan Brandes (1743-1808), Rach personally knew or could have known.
***
The project "Johannes Rach 1720-1783"A cooperation on mutual heritage
The National Library of Indonesia in Jakarta and the Rijksmuseum in Amsterdam have been in consultation since 1995 over their common heritage: the drawings of Johannes Rach (1720-1783). The National Library in Jakarta owns the largest and most important collection: 202 drawings. The Rijksmuseum owns 40 drawings. The two parties studied the possibility of temporarily reuniting Erasmushuis in Jakarta was prepared to support the united initiatives of the National Library of Indonesia and the Rijksmuseum. It was expected that an exhibition together with a publication would attract considerable attention not only in Indonesia and the Netherlands but also in Japan, Singapore, South Africa and Great Britain.
***During conversation in 1997 the parties involved recognized that conservation of the Indonesian collection had the first priority. A plan was set up to accomplish the restoration within an Indonesian-Dutch cooperative conservation project. This project also aimed at the exchange of mutual knowledge and experience. In 1999 the Rach-project was started when HGIS, an organization set up by the Netherlands Department of Foreign Affairs, granted funds to execute the plans as formulated in earlier years. On November 12 1999, the National Library of Indonesia and Rijksmuseum signed a Memorandum of Mutual Understanding (M.O.U.).
***
In January of the year 2000, Mr Peter Poldervaart, the chief restorer of paper work from the Rijksmuseum, undertook, in close cooperation with expert from the National Library, restoration and conservation of the Rach collection. The restoration was finished in April. In the next year the collection was registrated and photographed. In 2002 part of the Rach-collection in the National Library will travel to Europe to be exhibited in the Rijksmuseum Amsterdam. The Rach-drawings are likely to travel to Copenhagen too, the original hometown of Johannes Rach.
***
Now the Rach-project is concluded by this catalogue which is published on the occasion of a One day Seminar "Johannes Rach" in the National Library and the opening of an accompanying exhibition. This book was produced with many efforts and in good harmony by the staff of two befriended institutions from two countries with a long mutual history. We hope the public in Indonesia as well as in the Netherlands and elsewhere will enjoy this result of our fruitful cooperation!
Now the Rach-project is concluded by this catalogue which is published on the occasion of a One day Seminar "Johannes Rach" in the National Library and the opening of an accompanying exhibition. This book was produced with many efforts and in good harmony by the staff of two befriended institutions from two countries with a long mutual history. We hope the public in Indonesia as well as in the Netherlands and elsewhere will enjoy this result of our fruitful cooperation!
Label: Sejarah Sosial
Five Minds for The Future
Purchased : 03 July 2007 -Price : Rp. 40,000- Author : Howard Gardner -Pages : IX + 179 Pages -Edition : 1st Edition
***
Membaca Howard Gardner memang mengasyikkan. Mungkin gaya penuturan dan penjabaran pokok pikiran sangat sederhaan sehingga kita mudah mendapatkan inti bahasan .
***
Seperti judulnya tentang 5 Pikiran bagi Masa Depan yang dikatakan Howard Gardner akan menjadi tonggak ukuran bagi prekembangan kemajuan dan perkembangan kebudayaan di masa datang. 5 Pikiran yang akan membuat seorang individu eksis dan bisa menjadi bertahan di abad yang penuh dengan persaingan yang akan menentukan dan memberikan traits-sifat-sifat dasar bagi kepemimpinan di masa yang akan datang.
***
Dengan sederhana Gardner memberikan point penting bagi Pikiran yang Terdisiplin (The Disciplinary Mind ) : Setiap individu mesti menguasai satu bidang yang menjadi displin ilmu baginya. His expertice. Specialisasi. Apakah bidang sciene, Biolgi, kedotekteran, bidang sejarah, bidang sastra, pemusik atau ratusan bidang displin ilmu lainnya. itulah pentingnya kenapa kita sekolah. Sekolah memberikan kita dasar , arah untuk mempelajari satu disiplin ilmu untuk nanti kita tekuni, dan belajar penuh secara detail pada sebuah bidang ilmu. Sebuah disiplin ilmu. dari sanalah kita akan berangkat akan seperti apa kita nantinya. Tanpa sebuah bidang ilmu sulit memang menjadi bagian sebuah kebudayaan yang proaktif. Kreatif dan berkembang. Tak penting apapun bidang yang kita geluti, haruslah tembus pada detail dan spesialisasi. Sehingga seperti mata bor laser yang tajam menukik pada bidang keras. Bukan seperti lampu sorot yang mengambil bidang besar tapi tak bisa tembus-tembus . I got the point !
***
Membaca Howard Gardner memang mengasyikkan. Mungkin gaya penuturan dan penjabaran pokok pikiran sangat sederhaan sehingga kita mudah mendapatkan inti bahasan .
***
Seperti judulnya tentang 5 Pikiran bagi Masa Depan yang dikatakan Howard Gardner akan menjadi tonggak ukuran bagi prekembangan kemajuan dan perkembangan kebudayaan di masa datang. 5 Pikiran yang akan membuat seorang individu eksis dan bisa menjadi bertahan di abad yang penuh dengan persaingan yang akan menentukan dan memberikan traits-sifat-sifat dasar bagi kepemimpinan di masa yang akan datang.
***
Dengan sederhana Gardner memberikan point penting bagi Pikiran yang Terdisiplin (The Disciplinary Mind ) : Setiap individu mesti menguasai satu bidang yang menjadi displin ilmu baginya. His expertice. Specialisasi. Apakah bidang sciene, Biolgi, kedotekteran, bidang sejarah, bidang sastra, pemusik atau ratusan bidang displin ilmu lainnya. itulah pentingnya kenapa kita sekolah. Sekolah memberikan kita dasar , arah untuk mempelajari satu disiplin ilmu untuk nanti kita tekuni, dan belajar penuh secara detail pada sebuah bidang ilmu. Sebuah disiplin ilmu. dari sanalah kita akan berangkat akan seperti apa kita nantinya. Tanpa sebuah bidang ilmu sulit memang menjadi bagian sebuah kebudayaan yang proaktif. Kreatif dan berkembang. Tak penting apapun bidang yang kita geluti, haruslah tembus pada detail dan spesialisasi. Sehingga seperti mata bor laser yang tajam menukik pada bidang keras. Bukan seperti lampu sorot yang mengambil bidang besar tapi tak bisa tembus-tembus . I got the point !
***
Disciplanary Mind inilah tonggak awal bagi kita untuk menuju ke suatu tahap penting selanjutnya hasil sintesa sebuah displin yaitu Pikiran yang Bisa melakukan Sintesa. ( The Syntesizing Minds ) Kemampuan untuk melakukan penyatuan ide-ide dari berbagai disiplin yang berbeda. Kemudian menghubungkan , mengkomunikasikan dan mampu menyatukan beragam kemungkinan menjadi sebuah kemungkinan baru dan kemudian menghasilkan sebuah paduan yang sinergik, menjadi sebuah yang sama sekali berbeda dari mosaik-mosaik awal.
***
Mosaik-mosaik baru yang tercipa dari hasil sintesa akan menghasilkan sebuah tatanan baru, sebuah kreativitas baru. Kreativitas kata kuncinya . Create ! Itulah pikiran ketiga. The Creating Mind . Semua ilmu yang telah menjadi displin setiap individu tetap sebuah disiplin yang mandul dan tak berguna bila tak memiliki kemampuan untuk melakukan pemaduan dan kemampuan sintesa yang pada akhirnya melahirkan sebuah Mosaik Baru. Sebuah kreasi baru. Kemampuan itu yang membedakan antara tindakan kebudayaan yang mandul atau hanya pasif.
Memang tak semua orang yang punya disiplin ilmu bisa menjadi produktif bila tak bisa memiliki kemamapuan untuk sintesa yang pada akhirnya melahirkan sebuah kreatifitas baru. Kreatifitas di bidang apapun itulah yang membedakan kita sebagai individu dengan sebuah group .\
***
Pikiran kreatif sering dimiliki oleh sebuah proses yang panjang. yang seringkali dihasilkan oleh indivisu-individu yang selalu mempertanyaan kemandekan , mencari pemecahaan cara baru, mendobrak dan membongkar tatanan lama. Mencari phenomena baru. Yang kadang nampak kurang waras bagi sebuah masyarakat dengan tatatan berpikir mapan. Mempertanyakan memang merupakan sebuah proses menuju sebuah pembentukan benih-benih kreatifitas.
***
Terus terang aku suka sekali dengan tahap ketiga ini. Karena umummnya tak semua orang bisa tiba pada tahap mempertanyakan kemandekan , atau berusaha melihat dari sisi yang berbeda, atau mentertawai keajekan, bermain acak, walau kadang keluar dari tatanan mapan. Kreatifitas seringkali lahir dari orang-oarang dengan tipe-tipe nyeleneh , tipe-tipe yang keluar dari kemapanan berpikir yang sudah teratur. Yang membosankan.Yang ajek dan pasti. Kadang keteraturanlah yang menjadi perangkap bagi kreatifitas. Bagiku sendiri membaca Gardner bagai melihat pola tingkah dan sisfat yang kujalani sekarang.
***
Proses membacva yang banyak yang beragam bagaikan sebuah disiplin ilmu juga. Mendatangkan detail data. Menangkap hal-hal baru dari buku-buku beragam. Sebuah bidang ilmu. BIla hanya tiba pada proses ini,maka proses ini hanya melahirkan sebuah generalisai tanpa spesialisai yang menukik.
***
Proses pembacaan yang panjang dan banyak mestinya di ikuti oleh sebuah kemampuan untuk membedakan data, menghubungkannya, menapiskanya, memilah-milah. Memberikan sebuah sinergi terhadap banyak data yang berseliwiran. yang tak ada hubungan satu sama lain. Beragam mosaik. Bahan dasar yang penting untuk melakukan dan tiba pada proses sintesa. Inilah tahap kedua probalitas dan tipe berpikir yang kedua.
***
Lalu dari beribu dan berjuta ragam mosaik yang telah mengalami pemilahan, pembongkaran, intertekstualitas, tumpang tindih inilah akhirnya yang akan menuju pada sebuah proses kreasi. Proses kreatif. Sebuah proses penciptaan. Proses menulis, menuangkan pikiran seperti sekarang ini sebetulnya adalah proses kreatif yang menghubungkan berjuta data , teks-teks lama, teks-teks baru , di berikan pemahaman baru-new signifying process -agar beragam teks ini dapat di rancang balik, di kontruksi ulang menjadi teks baru . Dengan tanpa menafikkan adanya selalu intertekstualitas yang mengandalkan banyak sekali hypogram.
***
Dalam budaya dan pribahasa Cina adalah proses " Belajar " lalu menuju proses " Mengajar ". Simplikasi ide-ide Gardner sebetulnya sudah ada di budaya ini. Yang menjadi pertanyaan terbesar bagiku, sejauh mana proses membangun Pikiran Terdisiplin , lalu menuju Pikiran Menyintesis bisa selalu runtut otomatis menuju pada Pikiran yang Mencipta ? Apakah proses membaca yang banyak , yang teratur selalu otomatis akan tib apada proses Pikiran yang Mencipta ? Jawabannya mungkin tidak. Karena banyak orang melakukan proses mebaca yang banyak yang beragam tapi hampir sedikit sekali orang tiba pada tahap atau berusaha terus untuk naik ke tahap Pikiran yang Mencipta. Karena proses mencipta membutuhkan banyak kerja disiplin . Membutuhkan Pikiran yang Terdisiplin juga. Dan proses ini banyak yang di tinggalkan orang. Entah kenapa. Mungkin proses ini membutuhkan banyak energi, daya upaya untuk terbiasa dan terus menerus tanpa lelah memaksa otak untuk disiplin mengeluarkan kata-kata. Itu yang sulit. Mungkin.
***
Pertanyaan yang terpenting adalah sejauh mana kemampuan sintesa yang bagus, dengan disiplin data yang lengkap dan memberikan kreatifitas yang subur bisa merubah pikiran orang menjadi seorang manusia yang memiliki Pikiran yang Menghargai ( Respectful Mind ) orang lain. Menghargai keberagamam pikiran. menghargai keberagaman ide-ide. Menerima kemungkinan orang lan untuk salah . Jawabannya mungkin nggak gampang dan ngak perlu hari ini. Karena Pikiran yang memiliki Etika ( Ethical Mind ) adalah pikiran yang paling menentukan gerak kebudayaan. Di sinilah kita di uji sejauh mana hasil proses disiplin yang bisa melakukan sintesa dan membangkitkan proses kreatif dapat menghargai orang lain, menghargai masyarakat dengan didasari oleh pikiran yang beretika.
***
STA sudah 31 tahun yang lalu , -dalam buku Antropologi Baru-berbicara tentang etik pribadi, yang menuju kepada etik masyarakat yang menjadi dasar proses aktif kebudayaan. Penentuan proses berbudaya. Aku nggak tahu apakah Gardner juga membaca buku STA. Dalam bukunya yang terbit tahun 1966 , STA menulis bahwa ilmu tentang etika adalah ilmu yang tertua yang merupakan cabang teori nilai yang sering terintegrasi secara built in menjadi bagian dari agama. Emmanuel Kant menulis tak ada yang lebih beretik kecuali niat.
***
Gardner nampak nya membicarakan etik autonom yaitu sebuah nilai Etik yang bersumber dari dalam individu itu sendiri. Lawannya adalah Etik Heterom, nilai Etik yang bersumber dari norma-norma masyarakat, agama, adat-istiada dengan kata lain bersumber dari luiar individu tersebut.
***
Tema yang diusung oleh Gardner ini bukanlah sesuatu yang baru dalam rana keilmuan. Gardner hanya dengan pandai meracak kembali, memberikan makna baru, meyambung, membongkar, menyusunnya kembali menjadi mosaik baru, yang tentu saja penuh dengan intertekstualitas, hypogram-hypogram yang pasti bukan sesuatu yang original, nothing new under the sun.Tapi menjadi tatanan -mosaik baru yang segar, yang enak di baca dan menjadi akhirnya sebuah buku tentang proses berpikir . Yang pada akhirnya menjadi dasar kebudayaan aktif. Tindakan kebudayaan.
***
Bukunya yang layak dicari, dibeli dan dibaca :
-Multiple Intelligent
-Changing Minds
-Good Work
Label: Psikologi
Subscribe to:
Posts (Atom)